Sabtu, 15 Desember 2007

Beralih ke Uang Riil atau Indonesia Tergadai

TAMU Press Talk, yang pengambailan gambarnya dilakukan pada 12 Desember 2007 lalu adalah (dari kiri ke kanan): Muhaimin Iqbal, Ketua Perusahaan Asuransi Syariah, Hendri Saparini, Direktur Eksekutif Econit dan Ahmad Riawan Amin, Ketua Bank Sayriah Indonesia, yang juga Ketua Perbankan Syariah Indonesia.

Sebagaimana tag line program teve ini; Wadah Orang media dan Orang yang Ditulis Bicara. Topik yang dibicarakan adalah berawal dari buku yang ditulis Riawan Amin, berjudul Satanic Finance. Juga latar data yang saya sampaikan di awal diskusi:

Kini 32 juta jiwa penduduk miskin berpendapatan kurang dari Rp 180 ribu, sekitar US $ 20 saja perbulan. 150 orang terkaya menguasai APBN lebih dari 50 persen. Angka pengangguran masih di atas 30 juta.

Kebijakan moneter berbunga tinggi mengimingi pemilik modal tidak lari membuat biaya mahal. Bank Indonesia memberi bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), membuat dana dari berbagai daerah mengendap tidak produktif. Angkanya lebih Rp 60 triliun pertahun. Sektor riil seakan jalan di tempat.

Laporan wartawan, anggota PWI-Reformasi di daerah, aksi melego Sumber Daya Alam kian hari kian kencang saja. Di sebuah kabupaten di Kalimantan Timur, lahan berdeposit batubara mencapai 50 juta ton, izin konsesinya dijual cuma Rp 20 miliar kepada asing. Padahal di dalam tanah Kalimantan itu beragam kekayaan hayati ada. Beragam mineral hingga uranium bukan mustahil sedikit. Izin tambang dikapling-kapling lalu dilego demi lembaran kertas yang disebut uang.

Kebun-kebun sawit di Sumatera dan Kalimantan pun kini saban hari diincar asing, yang membawa lembaran kertas bercetak yang dibubuhi angka itu, yang kita sebut fulus.

Di lain sisi peran negera dalam perekonomian untuk melindungi kepentingan rakyat, terutama sektor menguasai hajat hidup orang banyak tinggal 14% saja. Privatisasi mengalir bak air bah, menjadikan negeri ini lebih liberal dari Mbahnya liberal Amerika Serikat, yang masih mengendalikan 39% segala sesuatu yang menguasai hajat hidup orang banyak.

Tidak berlebihan bila Uni Lubis, Editor Club, yang pernah tampil di PRESS TALK bercerita. Ia terlibat menyusun RUU Penyiaran selama 3 bulan. Tetapi pada hari H diketuk palu jadi UU, rancangan yang susah payah dibuat menjadi sia-sia. Begitu disahkan, isinya persis macam UU penyiaran di Amerika Serikat.

Tidak ada lagi bank sebagai agen pembangunan. Apalagi modal ventura riil untuk industri berbasis budaya yang kaya di Indonesia, semakin jauh panggang dari api.

Pragmatisme menjual sumber daya alam, demi kepentingan mengejar kedudukan politik dan pemerintahan, harus “dibeli” dengan lembaran kertas yang disebut hepeng. Orientasi berkonsentrasi berproduk dan berjasa, yang menjadi identitas utama basis pengusaha, menjadi minim. Kondisi instan mengejar uang, karena kata orang Tapanuli sana: Hepeng Mengatur Nagaraon. Nanghadong Hepeng, Matehok!

Dalam kerangka inilah topik Beralih ke Uang Riil atau Indonesia Tergadai, menjadi alasan diskusi. Dan yang mengejutkan, ternyata harga kambing dari zaman Rasulullah Muhammad hingga saat ini, tetap di kisaran satu dinar (4,25 gram emas 22 karat). US $ sudah mengalami penurunan yang tak terkira.

Pilihan kembali ke mata uang riil, apapun judul, dolar pun boleh, asal memiliki keadilan, dengan mengacu ke emas dan perak, menjadi solusi untuk keluar dari cengkeraman kemelaratan yang kian tajam akan terjadi di Indonesia.

Apalagi skenario melarang Indonesia beralih ke emas memang ada dalam klausul perjanjian dengan IMF. padahal penerbang tempur AS, sebelum take off selalu mengecek persedian koin emas yang harus dibawa. Sehingga bila pesawat jatuh di tempat dan negara manapun, emasnya dapat dijual. Lembaran kertas, apapun namanya, bisa terbakar - - lebih jauh dia hanyalah kertas yang dicetak dan diberi angka. Lembaran-lembaran kertas inilah yang ditukar dengan aset SDA bangsa ini.

Sistem moneter pun memang sedang sangat kejam "menjajah" Indonesia. Undang-Undang independensi Bank Indonesia, menjadi layak dipertanyakan, bila acuannya ingin mensejahterakan bangsa.(I)

Rabu, 28 November 2007

Warisan Budaya Bernilai Ekonomi


Press Talk perekaman gambar yang ke-3, sampai juga ke masalah judul blog ini. Rekaman gambar dilakukan kemarin, Rabu, pukul 17. Judul yang dibahas Warisan Budaya Bernilai Ekonomi.
Tamu yang hadir: Andy Noorsaman Sommeng, Dirjen HAKI - - saya mengenalnya sejak masih menjadi direktur TI Ditjen HAKI. Kedua Edi Sedyawati, mantan Dirjen Kebudayaan, yang saya kenal sejak 1996. Ketiga Maria Tjin, pelaku industri konten (animasi, games) dari rumah produksi Castle studio dan Multimedia College. Ia kawan seperjuangan ketika pernah mencoba menjadikan animsi sebuah industri di Indonesia.
Sesuai tag line, program ini adalah Wadah Orang Media dan Orang yang Ditulis Media Bicara. Di promonya kami mengatakan dengan Pertanyaan yang Tajam, Jawaban Tamu yang Cerdas, hanya di Press talk.
Saya yakin, masih ada ceruk di dunia talk show, untuk tampil informatif, cerdas, jenaka dan sekaligus entertaining - - tanpa harus menjadi host yang "menselebriti". Setiap akhir acara, saya selalu menanyakan kepada tamu, apa komentarnya tentang dialog yang sudah berlangsung? Ke-3 tamu ini serentak menjawab, bagus, berbeda, senang! Dan mereka ingin tampil lagi.
Semoga program ini memang mampu membawa sesuatu yang memberi arti.
Penayangan perdana episode Warisan Budaya Bernilai Enonomi ini pada Senin, 5 Desember 2007 di Qtv pukul 23.00, re-run Rabu, pukul 17 dan di SWARA, Jumat, pukul 14. Semoga proram ini mendapat hati pemirsa dan berkesinambungan. Amin (IP)

Senin, 26 November 2007

Tiga Bulan Tepat Setelah KLB

TIDAK terasa waktu telah lewat tiga bulan setelah Kongres Luar Biasa PWI-Reformasi, Subang. Hari ini 26 November 2007.

Dalam tiga bulan ini, tentu belumlah banyak yang dihasilkan di bawah kepengurusan saya sebagai Ketua Umum Kornas. Tetapi bila dibandingkan dengan perjalanan panjang 8 tahun 9 sembilan bulan yang sudah dilewati oleh organisasi PWI-Reformasi, terobosan-terobosan telah dilakukan. Terobosan itu antara lain; berusaha memiliki majalah sendiri, berusaha memiliki program teve sendiri, juga berusaha membuka media on line sendiri. Ketiganya dalam proses tayang dan beredar.

Mengapa penting bermedia? Banyak pemikiran, sisi visi dan misi organisasi secara fokus hanya dapat disosialisasikan melalui media yang dikelola sendiri.

Di lain sisi, visi, misi, dan program yang sudah dijabarkan melalui selembar bulkonah (bulat, kotak dan panah), seharusnya dapat menjadi mempermudah memberikan pemahaman bagi siapapun, anggota, terlebih pengurus. Dalam 3 tahun kepengurusan ini, ditargetkan untuk memiliki anggota 3.000 orang. Beban utama tentu terletak di Korda Jakarta. Karena di kota metropolitan inilah, jumlah wartawan berjibun mukim. Ini, salah satu contoh, mengapa pentingnya mengacu ke visi, misi dan program kerja.

Visi, misi dan program kerja itu, sudah menjadi keputusan KLB Subang. Dan juga sudah menjadi keputusan rapat pleno pertama kepengurusan PWI-Reformasi. Langgam seirama, membuka diri, agar tidak terjebak menjadi organisasi yang macam kodok dalam batok, merupakan pekerjaan rumah utama bagi setiap Korda. Sudah tidak zamannya, hanya membangun komunitas yang anggotanya dari tahun ke tahun itu ke itu saja. Sebuah Korda yang hidup di kota besar, memang harus tumbuh besar anggotanya, harus dinamis orang-orangnya. Bila tidak, oragnisasi PWI-Reformasi di suatu daerah, hanya menjadi kerdil. (IP)

Kamis, 22 November 2007

Testimoni Industri Kreatif dan Media

Bila disimak beberapa kabar di blog ini, tampak fokus ke program media watch, termasuk program teve PRESS TALK yang digagas PWI-Reformasi untuk Qtv, di mana saya sebagai Ketua Umum Kornasnya.

Pengantar di blog berjudul Credential Asset yang Bangkit, lebih cenderung bicara konten teknologi informasi, konten web dan seterusnya. Jawabnya adalah: saya pribadi, selain jurnalis, pada waktu lalu pernah menjadi praktisi di industri animasi, juga mencoba melirik peluang di mobile content - - game, baik untuk yang berbasis aplikasi Java terutama CDMA, juga kini mengamati perkembangan Mirosoft Mobile 6.

Saya memiliki seorang kolega programer, lulusan UCLA, AS, yang bersama-sama pernah mebuat animasi 3D wayang untuk konten simulation ride. Ia Anthony Seger. Kini ia sedang melakukan development game untuk Microsoft Mobile 6. Anthony, sosok yang pernah mengantungi uang lebih dari US $ 2 juta. Dana itu kebanyakan habis untuk mengembangkan proyek-proyek baru yang menurut jabaran bangsa ini, intangible - - terutama bahasa bank, bahkan penilian Bank Indonesia. Ia bercita-cita, dalam waktu yang dekat bisa membeli Gulfstream 33- sitter, pesawat jet pribadi yang menjelajah trans pacific. Dan saya sangat yakin suatu waktu ia bisa.

Akan hal hubungannya saya dengan Athony, saya sangat percaya, untuk mengubah segala sesuatu yang nggak karuan di negeri, adalah melalui laku independen, tumbuhnya masyarakat madani yang mendapatkan income dari US $, tidak bergantung ke proyek pemerintah dan sosok manapun. Manusia dengan karya demikian, dapat berbuat banyak, berbicara bebas, menegakkan sembilan elemen jurnalistik.

Saya menabalkan blog ini, memang, untuk itu, dengan sangat optimis. Optimis sekali. Dasarnya kita sebagai bangsa, memiliki asset budaya yang luar biasa - - jauh lebih luar biasa dibandingkan hutan, ikan, tambang dan seterusnya. Cuma, pejabat, pemerintah kita, memang, bego, atau keblinger. Segala yang ada sekarang hanya dilihat dari yang tampak, tangible. Yang tidak kelihatan bukan asset.

Maka mampuslahkau Indonesia, macam lagu dibajak, batik dibajak, genetik anjing Kintamani,Bali dibajak dan deretan panjang lainnya. Brain drain mengalir ke luar negeri. Salah siapa. Salah Malayasiakah. Hanya orang-orang bengak yang selalu menyalahkan orang lain, bukan dirinya sendiri.

Itu dasar, maka di akhir pengantar blog, saya katakan, bahwa melalui konten budaya yang menjadi industri akan meraih US $ tak berbatas, bukanlah isapan jempol beleka. (IP)

PUNDI BI MENGALIR ke DPR

PENGAMBILAN gambar PRESS TALK, Wadah Orang Media dan Orang yang Ditulis Media Bicara, Episode 2 tadi siang pukul 11, sudah dilakukan. Tampak sebagai tamu, dari kiri ke kanan, Irsyad Sudiro, Ketua Dewan Kehormatan DPR, Adi Warman, anggota Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi, Uni Lubis, Wapemred AN TV, dalam kapasitasnya sebagai anggota Editor Club. Topik: PUNDI BI MENGALIR KE DPR, sebagai persembahan PWI-Reformasi.

Dari awal minggu ini Kornas sudah menyurati Gubernur Bank Indonesia untuk hadir dalam PRESS TALK. Tetapi setelah melalui berbagai cara, termasuk Bung Didik L Pambudi mendatangi BI, mereka tetap bersikokoh, tidak mau datang. Jadilah talkshow ini tanpa kehadiran BI.

Kendati demikian dialog cerdas, hangat dan jenaka tetap berlangsung, seakan waktu yang tersedia memang menjadi sangat kurang. Ada pertanyaan tajam ke Uni soal Editor Club yang menerima Rp 15 miliar dari Bank Indonesia, BK DPR yang terkesan lamban bekerja, sementara indikasi kasus korupsi memerlukan cara-cara, yang menurut Uni, extra ordinary, Adi Warman menyebut harus dengan cara-cara terjun bebas, saya mengatakan harus mengibarkan bendera setinggi-tingginya - - di mana KPK menjadi tumpuan.

Kata-kata bapak bingung yang saya lontar kepada Irsyad Sudiro mengundang tawa.

Setidaknya, menurut Didik L Pambudi yang menyimak di studio, seluruh crew Qtv berderai tawa, saya pun sebetulnya tak tahan menahan geli, setelah "Bapak Bingung" saya lontarkan kepada seorang Irsyad Sudiro, yang ketua Dewan Kehormatan DPR-itu.

Bukan memuji program sendiri.

Tetapi menurut kawan-kawan yang menyaksikan, PRESS TALK kian heboh, dan menarik menjadi sebuah tontonan. Semoga memang demikian dan saya sendiri berharap pada episode ke-3 akan lebih baik lagi. Tinggal menunggu penayangannya di kanal teve berlangganan, Indoviosion, Kabelvison dan Telkomvision, awal Desember 2007 mendatang(IP)


Selasa, 20 November 2007

HUT PWI-Reformasi ke-9 Hari Ini

TIDAK terasa hari ini PWI-Reformasi genap berusia genap 9 tahun. Saya kutip lead dan alinea kedua kolom Budiman S Hartoyo, yang akan dimuat majalah TEDAS, Bedah edia dan Jurnalisme, yang akan diterbitkan oleh Kornas PWI-Reformasi:

SIANG itu langit di atas Solo mendung. Dalam cuaca lembab itu, sembilan tahun yang lalu, saya bernostalgia di kampung halaman – setelah sehari sebelumnya menjadi salah seorang panelis dalam sebuah diskusi di Yogyakarta. Di masa remaja dulu, 40 tahun silam, ada sebuah kawasan di pusat kota Solo, tempat saya sering membaca koran. Saya masih ingat, kawasan itu di sekitar perempatan Pasar Pon, antara gedung bioskop Ura Patria dan Dhady di Jalan Brigjen Slamet Riyadi di jantung kota. Di sanalah saya, dari kios ke kios, membaca koran. Gratis, tentu.

Siang itu, sembilan tahun lalu, di salah satu kios yang sudah berganti pemilik, saya membeli beberapa koran lokal: Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Radar Jateng. Setiap kali berkunjung ke suatu daerah, saya memang lazim membeli beberapa koran terbitan setempat. Di halaman dalam Radar Jateng edisi 22 November 1998, dimuat sebuah berita dua kolom yang kurang menyolok tentang Sarasehan Sehari Menyelamatkan PWI dengan tema Wartawan Menggugat di Hotel Radisson, Yogyakarta, 21 November 1998.


Tulisan ini menjadi sangat penting, karena ditulis oleh pelaku sejarah PWI-Reformasi. Berikut alinea ke-6-nya:

Di tengah perdebatan sengit, menjelang diskusi berakhir, saya sempat menyampaikan secarik kertas kepada moderator, menyarankan agar Dahlan Iskan – yang berdiri di ambang pintu masuk – diminta mengemukakan pendapatnya. Maka sang moderator pun memanggil bos Grup Jawa Pos itu untuk tampil. Serta-merta, Dahlan Iskan pun maju ke podium. Hanya selama lebih kurang tiga menit, menegaskan, “Saya tidak akan banyak bicara. Saya menganjurkan, sekarang juga kita bentuk PWI-Reformasi atau PWI-Independen.” Langsung turun, ia diguyur tepuk tangan.

Selanjutnya dapat dibaca di TEDAS yang akan segera terbit. PRESS TALK di Qtv , TEDAS, dan situs www.jurnalis-indonesia.com (masih persiapan), adalah tiga produk media yang diprakarsai Kornas PWI-Reformasi, sebagai persembahan bagi ULANG TAHUN ke-9 organisasi. Semoga di tahun mendatang keberadaannya kian memberi arti menuju kembalinya kekuatan keempat dalam demokrasi.

Jurnalis Bangga Berfoto dengan Orang Terkaya

UNTUK apa menjadi wartawan? Jawaban pertanyaan ini dapat dengan jernih saya tangkap dari Metta Dharmasaputra, redaktur investigasi TEMPO. Ada kebanggaan jika memverifikasi data, menemukan kebenaran.

Di lain sisi wartawan, bila mengacu ke buku Sembilan Elemen Jurnalisme, Bill Kovach, diperbolehkan mengikuti hati nuraninya. Bagimana mengikuti nurani wartawan yang begitu bangganya berfoto dengan Soekanto Tanoto, orang terkaya nomor 1 di Indonesia menurut majalah Forbes 2006? Jika Sokenato terbukti menggelapkan pajak dalam skala tambun? Dan lebih gila penggelapan pajak itu masuk ke dalam AAA-Cross Border Tax Planning (under pricing of export sales), yang maha besar? Dan naif bin, entahlah lema dan diksi apa, yang harus ditulis menyebut wartawan yang berpose dengan Soekanto Tanoto, yang pernah dimuat di Investor Daily, September 2007 - - di saat kasus penyadapan telepon wartawan TEMPO, justeru menghangat, ke luar dari fokus menjerat PT Asian Agri, grup Raja Garuda Mas (milik Sokenato Tanoto), yang memang sudah terbukti menggelapkan pajak mencapai Rp 1,3 triliun?

Lebih gila bila para petinggi negeri ini, termasuk Jusuf Kalla, cuma melihat penyelesaian denda, seperti ia sampaikan 2 November 2007, menanggapi penyelesiaan PT Asian Agri.

JADI, SAUDARA-SAUDARA, mari "maling" sebanyak-banyak dari negeri ini, bila perlu Rp 100 triliun ke atas. Nah, nanti bayar denda, urusan bisa beres. Dan wartawan, pasti berlomba-lombalah meminta berfoto bersama, BANGGA. Jurnalis-jurnalis? Lebih gila, jurnalisnya dari media papan atas pula? Ampun deh!