Senin, 07 Januari 2008

MENYIGI KESEJAHTERAAN RAKYAT MENUJU MASYARAKAT MADANI


REKAMAN gambar PRESS TALK episode 6, berlangsung pada Jumat, 4 Januari 2008, pukul 17.30. Penayangan direncanakan mulai tanggal 14 Januari 2008. Press Talk, Wadah Orang Media danOrang yang Ditulis Media Bicara, mengambil topik: Menyigi Kesejahteran Rakyat Menuju Masyarakat Madani.

Tampil sebagai tamu; Fuad Bawazier, Mantan Menteri Keuangan, Ichsanudin Noorsy, Pengamat Ekonomi, dan Alif H. Gaffar, Ketua Umum GNM3 (Gerakan Nasional Menuju Masyarakat Madani)

Yang mengemuka secara hangat dalam dialog adalah; bahwa Indonesia, “Dikuasai oleh koalisi busuk,” kata Noorsy. Sedangkan menurut Fuad, ”Siapa pun presiden sejak 40 tahun lalu sistem ekonomi tidak berubah. Presiden hanya semacam boneka ekonomi.” Sistem menghamba kepada kepentingan neo liberalisme Amerika Serikat, dengan segenap negara kaki tangannya.

Lebih celaka kaki tangan AS, melalui IMF dan Bank Dunia di Indonesia, difasilitasi oleh mereka yang pernah belajar di AS - - yang dalam skala eksklusif dijuluki Mafia Berckeley (mereka para ekonom yang lulusan perguruan tinggi AS, tak memulu dari University of Berckeley, termasuk luklusan Harvard, Geoge Washington) - - tidak pernah pro pada mensejahterakan rakyat. Sebaliknya, mereka mendukung bangsa ini kian “terjajah”, penguasaan sumber daya alam kian dikuasai asing. Aset dan potensi pasar serta peluang SDM anak negeri tumbuh berkembang justeru kian pudar.

Saya sebagai anchor sempat menanyakan seberapa banyak Mafia Berckeley itu, “Seribu, dua ribu, atau hanya beberpa gelintir orang saja? Kenapa 230 juta penduduk justeru kalah?”

Ekonomi makro yang selalu dijadikan indikator pertumbuhan oleh negara, hanyalah sebuah kamuflase, yang sesungguhnya tidak mencerminkan keadaan riil masyarakat.

Di bawah ini pengantar saya, sebagai anchor PRESS TALK:

Pemirsa, Selamat Tahun Baru 2008, selamat berjumpa pada Program PRESS TALK, bersama saya Iwan Piliang. Mengawali 2008 ini, topik kita: Menyigi Kesejahteraan Rakyat Menuju Masyarakat Madani.

Adalah tugas negara mensejahterakan rakyatnya. Dari sudut masyarakat kebanyakan, ukuran sejahtera, ternyata, tidaklah muluk. Mereka hanya butuh perut terisi, pendidikan anak murah, pelayanan kesehatan gratis. Setidaknya ini poin utama yang dapat kami tangkap dari menjaring jawaban pertanyaan di berbagai daerah melalui jaringan PWI-Reformasi.

Presiden SBY membantah data kemiskinan yang dilansir oleh Wiranto, melalui iklan di beberapa media di penghujung 2007 lalu.

Kami tak ingin ikut berdebat-debat ihwal angka itu, tetapi meyakini bahwa data berikut:
37 juta jiwa penduduk miskin berpendapatan kurang dari Rp 180 ribu, sekitar US $ 20 saja perbulan. 150 orang terkaya menguasai APBN lebih dari 50 persen. Angka pengangguran masih 30 juta, kebijakan moneter berbunga tinggi mengimingi pemilik modal tidak lari membuat biaya mahal. Bank Indonesia memberi bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), membuat dana dari berbagai daerah mengendap tidak produktif. Angkanya mencapai Rp 60 triliun pertahun.

Penyerapan anggaran pemerintah di dua tahun terakhir di bawah 60%, kian memperkokoh keadaan bahwa sektor riil tidak bergerak. Sebaliknya mengundang investasi asing masuk, membuat penguasaan sumber daya alam kita, justeru kian “tergadai” , termasuk potensi pasar yang besar. Contoh kongkrit pasar telekomunikasi, keuntungannya dinikmati pihak asing. Penciptaan lapangan kerja dari iming-iming investasi asing pun menjadi tanya, karena yang timbul adalah peluang kerja out sourcing nir jenjang karir dan nisbi pensiun.

Di bidang pengelolaan pangan, swasembada beras kian jauh panggang dari api. Bila 2006 impor beras Indonesia mencapai 850.000 ton, pada 2007 angkanya sudah 1.500.000 ton. Dengan akan banyaknya terjadi musibah banjir tahun ini, menjadi dapat dipastikan bahwa impor beras diperkirakan lebih 2 juta ton tahun 2008. Program subsitusi pangan selain beras tidak berjalan.

Trias politika, yang membangun masyarakat sipil yang pluralis, sebagai acuan masyarakat madani, yang di awal reformasi begitu bunyi sebagai jalan mensejahterakan rakyat, kini redup, jika tak ingin disebut mati.

Apakah rakyat memang meningkat kesejahteraannya? Sebuah pertanyaan yang sesungguhnya mudah untuk dijawab dan dirasakan. Ini fokus dialog kita hari ini.(IP)

Tidak ada komentar: