Sabtu, 17 November 2007

Mengkaji Ulang Profesionalisme Wartawan


METTA Dharmasaputra, Redaktur Investigasi TEMPO, berdiri di depan ruang Nusantara Lima, Gedung DPR RI. Pria berkamata ini, tampak santai. Sesuai janji, Kamis, 15 November 2007, adalah hari pertama dilakukannya pengambilan gambar program teve Press Talk, yang direncanakan on air di Qtv pada awal Desember 2007 mendatang. (Di foto Metta tampak mengenakan kemeja lengan panjang abu-abu). Ia menjadi bintang utama Press Talk, karena topik membahas mengapa hasil investigasi TEMPO terhadap penggelapan pajak PT Asian Agri, dari kelompok usaha Raja Garuda Mas (RGM) - - milik pengusaha Soekanto Tanoto, yang menurut majalah Forbes menjadi orang terkaya nomor 1 di Indonesia - - belum juga menunjukkan tanda-tanda eksekusi.
Penggelapan pajak perusahaan itu, kini sudah terbukti mencapai Rp 13, triliun. Di lain sisi, Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI, berpendapat bahwa sebaiknya kasus ini diselesaikan dengan cara membayar denda, karena dimungkinkan oleh UU nomor 28,2007 , tentang pajak, khususnya pasal 44B, di mana penggelap pajak jika terbukti maka harus membayar maksimal hingga 400% dari pajak yang digelapkan. Jika jalur ini yang dipilih, menjadi sebuah ketentuan hukum yang menyayat-nyayat hati bak sembilu, karena tidak lagi melihat sisi kriminal, menginjak-nginjak moral dan hati nurani.
Preseden ini kian memperkuat bahwa berbagai tataran hukum di negeri ini hanya kian berpihak kepada kekuatan kapital, kepada kekuasaan. Uang seakan menjadi raja di raja. Inilah angle diskusi Press talk edisi perdana.
Saya pribadi memang mempertanyakan, bahwa mengharapkan keadilan di negeri ini laksana menegakkan benang basah. Bagaimana tidak, departemen yang mengurus keadilan hanya diberi judul Departemen Kehakiman, bukan Departemen Keadilan (Department of Justice), sebagaimana di negara yang lebih beradab dan hukum di atas segalanya. Oleh karena secara bercanda, kepada kawan-kawan saya katakan, bila salah satu dari Anda duduk di kebinet mendatang, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengusulkan mengubah judul departemen.
Peserta diskusi Press Talk lainnya, Dhaniswara K Harjono. Ia pengusaha yang saya kenal ketika aktif di Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI). Orangnya kalem. Dulu ia pernah menggeluti bisnis hak pengusahaan hutan (HPH). Pada suatu masa, penyelundupan kayu ke luar negeri menjadi pilihan, bila sang pengusaha tidak ingin tenggelam.
Hingga kini hasil selundupan kayu itu, bila kita melihat di hamparan laut di negeri Cina sana, menghampar log jati ribuan kubik dari Indonesia. Dan efeknya, nikmatilah ekspor propduk furnitur jati Cina membanjiri Amerika dan Eropa dengan harga sangat murah - - antara lain dengan mengakali ukiran berformat jati sintetis, berbahan resin, hanya bagian utama dari bahan kayu. Dan Cina kini memiliki deposit kayu jati yang besar, sekadar contoh.
Dhaniswara memilih mundur karena banyak hal yang terjadi bertentangan dengan hati nuraninya. Ia mencoba peruntungan di bisnis penggemukan ternak di Lampung, namun keberhasilan pun tidak datang.
Akhirnya ia memilih pulang ke habitatnya sebagai konsultan hukum - - basis pendidikan yang digelutinya. Kini Dhanis sudah menerbitkan dua buah buku tentang hukum investasi. Selain bekerja sebagai konsultan hukum, ia juga menjadi redaktur majalah Pengusaha. Kini dengan rendah hati ia berkenan menjadi konsultan hukum PWI-Reformasi, yang siap bekerja dengan pro bono. (Dhanis di dalam foto berjas, di sebelah kiri)
Peserta dialog berikutnya, adalah sosok Budiman S. Hartoyo. Sosok 68 tahun ini, tampak jauh lebih muda dari umurnya. Tak terbantahkan, bila PWI-Reformasi, hingga hari ini masih ada dan terus berkiprah, karena dialah orang yang tanpa capek selalu meng-SMS ke seluruh Indonesia agar kordinator daerah aktif, bergerak, bagi tumbuhnya jurnalis yang profesional, jurnalis yang bagus menulisnya dan tidak menerima amplop.
Perkenalan saya dengan BSH (begitu ia akrab disapa), boleh dibilang secara tidak terduga. Ketika 1979 saya mara ke Jakarta, ayah dan ibu saya sudah menetap terlebih dahulu di sebuah gang kecil di Jl. Angrek Raya, Kuningan, Jakarta Selatan - - sebuah jalan yang persis berada di belakang Wisma Metropolitan, Jakarta. Ia juga dapat ditembus dari arah Jl HR. Rasuna Said, dari arah Gedung Bakrie, Rumah Sakit AINI terus ke dalam. BSH tinggal di Jl. Angrek Raya, yang bersebelahan dengan tempat usaha ayah saya yang kala itu penjahit.
Layaknya orang bersebelahan, hubungan saya dengan BSH, bukan saja sebagai rukun tetangga, tetapi juga hubungan guru dan murid di bidang tulis menulis. Ia sekaligus "orang tua" saya. Kami sekeluarga tidak akan pernah lupa setiap menyaksikan rumah BSH, yang kini telah menjadi restoran ikan bakar Banyuwangi, di sebelah masjid Babussalam, Karet Kuningan itu. Setiap aroma ikan bakar di siang hari mengepul dari restoran yang padat dikunjungi oleh orang kantoran dari Sudirman dan Kuningan itu, kala itu itu pula bayangan akan BSH dan isterinya muncul. Ibu saya selalu menyayangkan, mengapa rumah itu dijual BSH pada penghujung 80-an lalu dan pindah ke daerah Jati Bening, Jakarta Timur, yang macet dan banjir itu?
Nah, saya, sebagaimana tampak di foto, yang berjas di sebelah kanan. Mengapa pakai jas? Dulu saya cuek dengan penampilan. Akan tetapi karena di negeri ini keberadaan seseorang memang sangat dinilai dari segala sesuatu yang melekat di kulit, maka saya berjaslah! Tetapi lebih penting adalah, bak kata Dhaniswara ke saya,"Berpenampilan bagus, biar kita nggak dikira orang mau minta uang."
Minta uang atau tidak, yang terpenting bagi saya adalah, dengan berjas ria, saya mempersembahkannya bagi menghargai sosok Metta yang luar biasa, yang membuahkan hasil, membuktikan penggelapan pajak PT Asian Agri yang kini sudah mencapai Rp 1,3 triliun, sebuah reportase investigasi yang mumpuni. Juga penghormatan kepada BSH, juga kepada Dhaniswara K Harjono, yang ketika bergaul sesama di HIPMI, dialah satu-satunya kawan yang menghargai nilai kerja otak, nilai sebuah penghargaan kepada moral. Lain tidak!(IP)

Tidak ada komentar: