Kawan-kawan yang budiman,
Dalam waktu dekat, program teve presstalk, akan segera on air lagi.
Semoga ini menjadi ksempatan berharga melahirkan programtalkshow yang baik, bertanya tajam kepada sumber yang dihadirkan.
Terima kasih
Senin, 09 November 2009
Rabu, 20 Februari 2008
Aliran Dana BI Bertali Temali ke BLBI
Dalam pengambilan gambar PRESS TALK pada Selasa, 19 Februari 2008 kemarin, hadir sebagai tamu adalah Fuad Bawazier, Permadi, Anggota DPR komisi I, dari fraksi PDIP dan Arbab Paproeka, anggota DPR komisi III, dari fraksi PAN. Topik sebagaimana judul di atas.
Ada catatan khusus saya dalam pengantar talk show ini. Untuk ketiga kalinya Fuad tampil di program ini. Alasannya, di tiga topik terakhir ini yang dikupasa dalah berkait ke keberadaan anggota parlemen, otoritas pemerintah dan latar pendidikan di bidang keuangan, plus bicara Fuad apa adanya, seperti mengatakan, "Presiden cuma boneka ekonomi," di topik episode lalu, menjadi magnitud kuat menghadirkannya.
Di dalam dialog mengemuka, bahwa aliran dana Rp 31,5 miliar (dari Rp 100 miliar kasus) yang mengalir dari BI ke DPR, ternyata berkait ke soal isu BLBI yang harus diredam, termasuk kekuasaan untuk mendirikan Otoritas Jasa Keungan (OJK), yang semula hendak dilepas dari Bank Indonesia, kemudian memang mendingin dan tetap hingga hari ini masih di pangkuan ranah BI.
KPK, yang di awal jabatan ketuanya Antasari Azhari, memberi angin segar dengan ditangkapnya Walikota medan dan Wakilnya, juga dengan ditangkapnya Rusdiharjo, mantan Kapolri, tetapi bergeming pada kasus aliran dana BI. Dari 17 nama tersangka yang dicekal, satu nama yang semula di duga kuat menerima aliran dana, HY (Hamka Yandhu), tidak masuk dalam sosok dicekal. Apakah kerana keberadaan yang bersangkutan memiliki kedekatan dengan meteri Hukum, juga menjadi tangan Golkar, dalam hal ini Jusuf Kalla ke parlemen bagi kepenting Golkar, dikupas juga secara jernih dalam dialog ini. HY adalah salah satu bendahara Golkar. ia juga bendahara PSSI.
Yang pasti menurut PERMADI, dialog macam talk show PRESS TALK tetap diperlukan untuk pencerahan bagi masyarakat. Sebagai media alternatif, talkshow alternatif, pada episode ini, lagi-lagi premisnya adalah: kepentingan uangn receh, telah membuat negara masuk ke lembah hina, menihilkan logika, integritas dan hatinurani. Simak dialognya minggu depan, Senin 25 Februari pukul 23.00 di QTV, Selasa pukul 23.00 di SWARA dan Rabu pukul 17.00.
Ada catatan khusus saya dalam pengantar talk show ini. Untuk ketiga kalinya Fuad tampil di program ini. Alasannya, di tiga topik terakhir ini yang dikupasa dalah berkait ke keberadaan anggota parlemen, otoritas pemerintah dan latar pendidikan di bidang keuangan, plus bicara Fuad apa adanya, seperti mengatakan, "Presiden cuma boneka ekonomi," di topik episode lalu, menjadi magnitud kuat menghadirkannya.
Di dalam dialog mengemuka, bahwa aliran dana Rp 31,5 miliar (dari Rp 100 miliar kasus) yang mengalir dari BI ke DPR, ternyata berkait ke soal isu BLBI yang harus diredam, termasuk kekuasaan untuk mendirikan Otoritas Jasa Keungan (OJK), yang semula hendak dilepas dari Bank Indonesia, kemudian memang mendingin dan tetap hingga hari ini masih di pangkuan ranah BI.
KPK, yang di awal jabatan ketuanya Antasari Azhari, memberi angin segar dengan ditangkapnya Walikota medan dan Wakilnya, juga dengan ditangkapnya Rusdiharjo, mantan Kapolri, tetapi bergeming pada kasus aliran dana BI. Dari 17 nama tersangka yang dicekal, satu nama yang semula di duga kuat menerima aliran dana, HY (Hamka Yandhu), tidak masuk dalam sosok dicekal. Apakah kerana keberadaan yang bersangkutan memiliki kedekatan dengan meteri Hukum, juga menjadi tangan Golkar, dalam hal ini Jusuf Kalla ke parlemen bagi kepenting Golkar, dikupas juga secara jernih dalam dialog ini. HY adalah salah satu bendahara Golkar. ia juga bendahara PSSI.
Yang pasti menurut PERMADI, dialog macam talk show PRESS TALK tetap diperlukan untuk pencerahan bagi masyarakat. Sebagai media alternatif, talkshow alternatif, pada episode ini, lagi-lagi premisnya adalah: kepentingan uangn receh, telah membuat negara masuk ke lembah hina, menihilkan logika, integritas dan hatinurani. Simak dialognya minggu depan, Senin 25 Februari pukul 23.00 di QTV, Selasa pukul 23.00 di SWARA dan Rabu pukul 17.00.
Senin, 04 Februari 2008
Memandirikan Ekonomi Bangsa
“Saya lihat dua media besar kita, selalu berpihak kepada Wijoyonomic, yakni Kompas dan Tempo?” tanya Rizal Ramli, mantan Menkoperekonomian di era Gus Dur, kepada Budiarto Shambazy, wartawan KOMPAS yang mengasuh rubrik POLITIKA, di sela rekaman gambar PRESS TALK, bertopik Memandirikan Ekonomi Bangsa, 4 Februari pukul 15.00 -16.00 di studi SWARA, Gedung DPR-RI
Budiarto membernarkan bila sosok Jacob Oetama memang memuja Widjojo cs. “Tetapi Kompas juga memberi porsi untuk ekonom macam Mubyarto,” sanggah Budiarto. Selain mereka berdua, tampil kembali Fuad Bawazier, yang dalam PRESS TALK episode Menyigi Kesejahteraan Rakyat … mengatakan, “Presiden hanya boneka ekonomi.”
Presiden hanya boneka ekonomi karena cengkeraman kepentingan AS melalui tangan IMF, World Bank dan WTO. Di Indonesia tangan-tangan AS itu diwakili oleh mereka yang diistilahkan Mafia Berkeley.
Mafia Berkeley adalah nama yang sudah membaku sebagai label atau trade mark untuk sekelompok ekonom dengan mazhab pikiran kapitalisme yang dianutnya secara konsisten dan militan. Umumya mereka adalah para alumni dari Universitas Berkeley di California. Meski sekarang anggota mafia ini tidak harus lulusan Berkeley. Asal ekonom itu ’setia’ dalam menjalankan kebijakan-kebijakan Washington Consesus, mereka dinamakan juga sebagai anggota Mafia Berkeley.
Mereka itu adalah yang meyakini dan menerapkan kapitalisme dan dengan bangganya menyebut dirinya sebagai libertarian. Dan ’kebetulan’ mereka mayoritas berasal dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sederat nama bisa kita sebut sebagai anggota mafia ini. Wijoyo Nitisastro (ketua tim Mafia Berkeley), Soemitro Djojohadikusumo, Ali Wardhana, Emil Salim, M. Sadli, Subroto, adalah generasi angkatan pertama Mafia Berkeley ini. Untuk generasi sekarang diwakili oleh Boediono (Menteri perekonomian), Sri Mulyani (menteri keuangan), M. Ikhsan (LPEM UI), Chatib Basri (ekonom UI) serta Rizal Malangrangeng (Freedom Insititute).
Bahkan Sri Edi Swasono mengatakan, nama-nama terakhir ini lebih ‘libertarian’ ketimbang pendahulunya. Merekalah yang saat ini menjalankan agenda-agenda kapitalisme global dengan pro-IMF, pro-AS, pro-utang luar negeri, pro-WTO dan terkagum-kagum pada globalisasai dan pasar bebas yang diciptakan oleh AS.
Dikatakan oleh Rizal Ramli, bahwa Mafia Berkeley juga berfungsi sebagai alat untuk memonitor agar kebijakan ekonomi Indonesia sejalan dan searah dengan kebijakan umum yang digariskan oleh Washington.
Kian nyata dan aneh memang, kehidupan ekonomi rakyat kebanyakan hari ini kian sulit, jika prakteknya penjajahan dan ketidakberkembangan ekonomi rakyat, juga ikut disukseskan penghancurannya oleh bangsa sendiri, yang mebawa nafas “tuannya”.
Bisa dibayangkan kita kaya sumber daya alam kian melayang, kian tidak tak tergarap.. Lebih aneh lagi jika media justeru menjadi pendukung “penjajahan” terhadap bangsanya sendiri itu
Penayangan episode Memandirikan Ekonomi Bangsa mulai Senin depan di QTV
Di bawah ini pengantar saya membuaka dialog di acara ini.
Selamat bertemu dengan PRESS TALK, wadah orang media dan orang yang ditulis media bicara, bersama saya Iwan Piliang.
Terima kasih atas segala perhatian dan sambutan Anda kepada program ini. SMS, email yang masuk memberikan kami pemahaman, bahwa kita memang memerlukan alternatif media, alternatif topik, alternatif langgam dan ketajaman. Juga alternatif jernih menyampaikan premis. Anda dapat pula berkomunikasi ihwal program ini di blogs saya. iwanpiliang.blogspot.com.
Pemirsa, topik dialog kita kali ini, Memandirikan Perekonomian Bangsa. Pekan-pekan ini kita menyimak berbalas ungkapan tari antara Megawati dan Jusuf Kalla. Megawati bilang negeri kita bergerak macam poco-poco. Kalla jawab, poco-poco lebih oke daripada dansa.
Negeri kita memang lucu tak terkira..
Di saat banyak anak negeri untuk makan sehari, menjadi kemewahan, dan kian banyak saja suara keriuk cacing yang menai di perut lapar lebih 17.000 anak kurang gizi di NTT, kita hadapi saat ini, misalnya.
Sumber daya alam yang luar biasa, tidak sepantasnya membuat 37 juta lebih pengangguran. 750.000 sarjana baru yang tiap tahun dicetak adalah aneh bin ajaib untuk menganggur.
Negara belum mampu mensejahterakan rakyatnya. Lebih parah kemandirian ekonomi kian pah-poh. Negeri bahari dan pertanian ini mengimpor garam 1,5 juta ton atau 50% dari kebutuhan setahun. Impor sapi mencapai 600.000 ekor, atau 25% kebutuhan nasional. Impor kedelai 2 juta ton, atau 49% dari kebutuhan nasional. Beras tahun ini akan diimpor lebih 2 juta ton. Susu mencapai 90% impornya. 1,3 juta ton gula masih datang dari Autralia. Masih banyak tentu angka-angka lain, bahkan alginat sebagai bahan pengemulsi untuk susu yang bahannya darui rumput laut, kita impor mencapai US $ 60 juta setahun. Entah dilaknat apa kita kiranya?
Pasar dengan penduduk mendekati 250 juta orang ini seakan telanjang; telekomunikasi, perbankan, hingga migas dan lahan tambang lain, dikuasai asing. Pernah dipaparkan di program ini, lahan berdeposit batubara di Kaltim seluas 4.500 ha, dilego ke asing Rp 30 miliar saja. Di dalamnya bukan mustahil beragam mineral, bahkan uranium ada, belum termasuk kandungan hayati lainnya.
Tidak ada lagi bank sebagai agent of development. Butir-butir perjanjian dengan IMF, yang ditandatangani 1998, telah membuat BI independen dari pemerintah, tapi tidak independen dari IMF, begitu pula banyak butir kesepakatan lainnya, yang membuat seakan negeri ini terjajah, tidak mandiri mengembangkan SDA-nya, tidak mandiri mengembangkan kekuatan militernya. Patok batas negara kita dipermainkan jiran.
Kenyataan hidup ini timbul lebih karena kepentingan asing dan laku segelintir orang Indonesia yang menjual bangsa, yang dilegalkan melalui Undang-Undang di DPR-RI.
Tidak fair memang bila Cuma menuding pemerintahan sekarang. Tetapi bila seorang presiden cuma boneka ekonomi, bagaimana kita berbangsa bisa keluar dari kedaan ini?
iwanpiliang.blogspot.com
Budiarto membernarkan bila sosok Jacob Oetama memang memuja Widjojo cs. “Tetapi Kompas juga memberi porsi untuk ekonom macam Mubyarto,” sanggah Budiarto. Selain mereka berdua, tampil kembali Fuad Bawazier, yang dalam PRESS TALK episode Menyigi Kesejahteraan Rakyat … mengatakan, “Presiden hanya boneka ekonomi.”
Presiden hanya boneka ekonomi karena cengkeraman kepentingan AS melalui tangan IMF, World Bank dan WTO. Di Indonesia tangan-tangan AS itu diwakili oleh mereka yang diistilahkan Mafia Berkeley.
Mafia Berkeley adalah nama yang sudah membaku sebagai label atau trade mark untuk sekelompok ekonom dengan mazhab pikiran kapitalisme yang dianutnya secara konsisten dan militan. Umumya mereka adalah para alumni dari Universitas Berkeley di California. Meski sekarang anggota mafia ini tidak harus lulusan Berkeley. Asal ekonom itu ’setia’ dalam menjalankan kebijakan-kebijakan Washington Consesus, mereka dinamakan juga sebagai anggota Mafia Berkeley.
Mereka itu adalah yang meyakini dan menerapkan kapitalisme dan dengan bangganya menyebut dirinya sebagai libertarian. Dan ’kebetulan’ mereka mayoritas berasal dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sederat nama bisa kita sebut sebagai anggota mafia ini. Wijoyo Nitisastro (ketua tim Mafia Berkeley), Soemitro Djojohadikusumo, Ali Wardhana, Emil Salim, M. Sadli, Subroto, adalah generasi angkatan pertama Mafia Berkeley ini. Untuk generasi sekarang diwakili oleh Boediono (Menteri perekonomian), Sri Mulyani (menteri keuangan), M. Ikhsan (LPEM UI), Chatib Basri (ekonom UI) serta Rizal Malangrangeng (Freedom Insititute).
Bahkan Sri Edi Swasono mengatakan, nama-nama terakhir ini lebih ‘libertarian’ ketimbang pendahulunya. Merekalah yang saat ini menjalankan agenda-agenda kapitalisme global dengan pro-IMF, pro-AS, pro-utang luar negeri, pro-WTO dan terkagum-kagum pada globalisasai dan pasar bebas yang diciptakan oleh AS.
Dikatakan oleh Rizal Ramli, bahwa Mafia Berkeley juga berfungsi sebagai alat untuk memonitor agar kebijakan ekonomi Indonesia sejalan dan searah dengan kebijakan umum yang digariskan oleh Washington.
Kian nyata dan aneh memang, kehidupan ekonomi rakyat kebanyakan hari ini kian sulit, jika prakteknya penjajahan dan ketidakberkembangan ekonomi rakyat, juga ikut disukseskan penghancurannya oleh bangsa sendiri, yang mebawa nafas “tuannya”.
Bisa dibayangkan kita kaya sumber daya alam kian melayang, kian tidak tak tergarap.. Lebih aneh lagi jika media justeru menjadi pendukung “penjajahan” terhadap bangsanya sendiri itu
Penayangan episode Memandirikan Ekonomi Bangsa mulai Senin depan di QTV
Di bawah ini pengantar saya membuaka dialog di acara ini.
Selamat bertemu dengan PRESS TALK, wadah orang media dan orang yang ditulis media bicara, bersama saya Iwan Piliang.
Terima kasih atas segala perhatian dan sambutan Anda kepada program ini. SMS, email yang masuk memberikan kami pemahaman, bahwa kita memang memerlukan alternatif media, alternatif topik, alternatif langgam dan ketajaman. Juga alternatif jernih menyampaikan premis. Anda dapat pula berkomunikasi ihwal program ini di blogs saya. iwanpiliang.blogspot.com.
Pemirsa, topik dialog kita kali ini, Memandirikan Perekonomian Bangsa. Pekan-pekan ini kita menyimak berbalas ungkapan tari antara Megawati dan Jusuf Kalla. Megawati bilang negeri kita bergerak macam poco-poco. Kalla jawab, poco-poco lebih oke daripada dansa.
Negeri kita memang lucu tak terkira..
Di saat banyak anak negeri untuk makan sehari, menjadi kemewahan, dan kian banyak saja suara keriuk cacing yang menai di perut lapar lebih 17.000 anak kurang gizi di NTT, kita hadapi saat ini, misalnya.
Sumber daya alam yang luar biasa, tidak sepantasnya membuat 37 juta lebih pengangguran. 750.000 sarjana baru yang tiap tahun dicetak adalah aneh bin ajaib untuk menganggur.
Negara belum mampu mensejahterakan rakyatnya. Lebih parah kemandirian ekonomi kian pah-poh. Negeri bahari dan pertanian ini mengimpor garam 1,5 juta ton atau 50% dari kebutuhan setahun. Impor sapi mencapai 600.000 ekor, atau 25% kebutuhan nasional. Impor kedelai 2 juta ton, atau 49% dari kebutuhan nasional. Beras tahun ini akan diimpor lebih 2 juta ton. Susu mencapai 90% impornya. 1,3 juta ton gula masih datang dari Autralia. Masih banyak tentu angka-angka lain, bahkan alginat sebagai bahan pengemulsi untuk susu yang bahannya darui rumput laut, kita impor mencapai US $ 60 juta setahun. Entah dilaknat apa kita kiranya?
Pasar dengan penduduk mendekati 250 juta orang ini seakan telanjang; telekomunikasi, perbankan, hingga migas dan lahan tambang lain, dikuasai asing. Pernah dipaparkan di program ini, lahan berdeposit batubara di Kaltim seluas 4.500 ha, dilego ke asing Rp 30 miliar saja. Di dalamnya bukan mustahil beragam mineral, bahkan uranium ada, belum termasuk kandungan hayati lainnya.
Tidak ada lagi bank sebagai agent of development. Butir-butir perjanjian dengan IMF, yang ditandatangani 1998, telah membuat BI independen dari pemerintah, tapi tidak independen dari IMF, begitu pula banyak butir kesepakatan lainnya, yang membuat seakan negeri ini terjajah, tidak mandiri mengembangkan SDA-nya, tidak mandiri mengembangkan kekuatan militernya. Patok batas negara kita dipermainkan jiran.
Kenyataan hidup ini timbul lebih karena kepentingan asing dan laku segelintir orang Indonesia yang menjual bangsa, yang dilegalkan melalui Undang-Undang di DPR-RI.
Tidak fair memang bila Cuma menuding pemerintahan sekarang. Tetapi bila seorang presiden cuma boneka ekonomi, bagaimana kita berbangsa bisa keluar dari kedaan ini?
iwanpiliang.blogspot.com
Kamis, 17 Januari 2008
INDUSTRI RITEL dan AREA REKREASI
REKAMAN gambar PRESS TALK pada, 17 Januari 2008, pukul 17.00 -18.00, topik sebagaimana di atas.
Hadir dalam kesempatan ini, Hari Darmawan, pendiri Matahari Departemen Store - - yang kini tinggal memiliki 2% saja saham di Matahari - - kini mengembangkan Mall-Mall di kota Kabupaten, seperti di Cianjur, Karawang dan beberapa tempat lain. Hadir juga Handaka Santosa, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia yang juga CEO Senayan City. Juga, Budi Karya Sumadi, Dirut PT Jaya Ancol Tbk..
Mempertemukan topik iritel dan area rekreasi menjadi fenomenon pertama di media, begitu komentar Handaka. "Karena ritel dan rekreasi memang kini sudah menyatu, " katanya.
Tetapi menghadirkan Ancol, sebagai sebuah konten lokal yang sukses, sebagai sebuah contoh kasus untuk area rekreasi lokal yang memimiliki fenomena, menguntungkan secara bisnis, menjadi BUMD pertama dan satu-satu yang sudah go public, kini merambah usaha ke Vietnam, juga ke tingkat kabupaten seperti di Tenggarong, Kaltim. Ini artinya, juga kita mau, jika kemauan politik pemerintah ada, suatu peluang, bisa menjadi kisah sukses signifikan.
Kisah sukses signifikan lain, pada Matahari Departemen Store. Ia lagi-lagi murni buatan lokal. Tetapi krismon dan kebijakan yang berpihak kepada neoliberalisme, membuat pengusaha besar berjatuhan, dan asset perusahaan bagus Indonesia beralih kepada asing - - ini sebagai benang merah dilog dan topik PRESS TALK. Tak heran Hari Darmawan mengatakan dalam dialog, "Soeharto itu papa bisnismen," Artinya Soeharto, menurut Hari, selalu melakukan dialog dengan pengusaha, apa masalah, apa yang mesti dibantu. Hal ini ditambahkan Handaka, bahwa saat ini, pengusaha seakan memiliki hambatan komunikasi dengan pengusaha. Padahal Industri ritel menyerap tenaga kerja besar, nomor dua setelah pertanian.
Bagaimana industri ritel Indonesia ke depan? Simak PRESS TALK episode ini di QTV pada sepuluh hari ke depan.
Berikut pengantar dialog saya:
Pemirsa,
Selamat bertemu kembali dengan program PRESS TALK, Wadah Orang Media dan Orang yang Ditulis Media Bicara, bersama saya Iwan Piliang.
Kami mengucapkan terima kasih atas kritik, komentar yang masuk, sms yang datang bertubi menyikapi topik PRESS TALK yang telah tayang. Untuk itu jangan bosan layangkan komentar ada melalui sms ke
Topik kita kali ini Industri Ritel dan Area Rekreasi, lagi sebuah topik mikro, sektor riil, yang di dalam industri mampu menciptakan lapangan kerja besar.
Di kesempatan sebelum ini, PRESS TALK, banyak bicara tentang ekonomi, tentang situasi makro, tentang situasi yang mengerucut ke bagaimana International Monetery Fund (IMF), Bank Dunia, dan skema World Trade Organizasation (WTO), melalui tangan-tangannya, telah membuat INDONESIA yang kaya raya sumber daya alam (SDA), kaya raya sumber daya manusia (SDM), kaya raya inovasi - - seperti telekomunikasi rakyat yang dikembangkan komunitas Onno Widodo Purbo dari sudut ICT , yang juga telah tampil di program, seakan hanya suguhan yang bunyi di kalangan rakyat kebanyakan.
Iklim dan kenyataan yang tercipta, seakan seakan kita tak berkekayaan alam, seakan akan cuma beraset perilaku SDM beretos kerja lemah. Inilah keadaan yang menyelimuti bagiakan kulit ari buah yang kian lama kian tebal saja. Ia selalu diuarkan, oleh semacam koalisi busuk, sebagaimana diistilahkan Ichsanudin Noorsy, dari Indonesia Bangkit di forum PRESS TALK ini pula.
Keadaan sesungguhnya bisa beda. Jika saja kita memiliki pemimpin visioner dan berani, jika saja aset SDA dan SDM yang luar biasa itu, seperti mengutip kalimat Fuad Bawazier, dalam PRESS TALK yang lalu, Menyidik Kesejahteraan Rakyat, tidak ada alasan bahwa bangsa ini miskin, tidak ada alasan rakyat harus antri sembako, tidak ada alasan sengsara, apalagi hina dina, seakan terjajah di negerinya sendiri.
Sayang memang pemimpin pilihan rakyat yang tercipta laksana “boneka ekonomi”, sebagaimana diungkap Fuad, memang telah membuat masyarakat kebanyakan lunglai, daya beli lemah, pengangguran bertambah.
Ciputra, pengusaha 2007 pilihan Ernst & Young, yang juga pendiri Taman Impian Jaya Ancol, mengatakan pengusaha di Indonesia hanya 0,08% dari jumlah penduduk. 750.000 lulusan sarjana setiap tahun menganggur. Kita perlu terobosan menggerakkan sektor riil.
Untuk itu saat ini di studio saya telah hadir insan-insan luar biasa. Mereka bergerak, bersuara, mengedepankan kekuatan potensi bangsa sendiri, untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri, khusunya di industri ritel dan area rekreasi; kita akan menyigi ihwal ini
Selamat bertemu kembali dengan program PRESS TALK, Wadah Orang Media dan Orang yang Ditulis Media Bicara, bersama saya Iwan Piliang.
Kami mengucapkan terima kasih atas kritik, komentar yang masuk, sms yang datang bertubi menyikapi topik PRESS TALK yang telah tayang. Untuk itu jangan bosan layangkan komentar ada melalui sms ke
Topik kita kali ini Industri Ritel dan Area Rekreasi, lagi sebuah topik mikro, sektor riil, yang di dalam industri mampu menciptakan lapangan kerja besar.
Di kesempatan sebelum ini, PRESS TALK, banyak bicara tentang ekonomi, tentang situasi makro, tentang situasi yang mengerucut ke bagaimana International Monetery Fund (IMF), Bank Dunia, dan skema World Trade Organizasation (WTO), melalui tangan-tangannya, telah membuat INDONESIA yang kaya raya sumber daya alam (SDA), kaya raya sumber daya manusia (SDM), kaya raya inovasi - - seperti telekomunikasi rakyat yang dikembangkan komunitas Onno Widodo Purbo dari sudut ICT , yang juga telah tampil di program, seakan hanya suguhan yang bunyi di kalangan rakyat kebanyakan.
Iklim dan kenyataan yang tercipta, seakan seakan kita tak berkekayaan alam, seakan akan cuma beraset perilaku SDM beretos kerja lemah. Inilah keadaan yang menyelimuti bagiakan kulit ari buah yang kian lama kian tebal saja. Ia selalu diuarkan, oleh semacam koalisi busuk, sebagaimana diistilahkan Ichsanudin Noorsy, dari Indonesia Bangkit di forum PRESS TALK ini pula.
Keadaan sesungguhnya bisa beda. Jika saja kita memiliki pemimpin visioner dan berani, jika saja aset SDA dan SDM yang luar biasa itu, seperti mengutip kalimat Fuad Bawazier, dalam PRESS TALK yang lalu, Menyidik Kesejahteraan Rakyat, tidak ada alasan bahwa bangsa ini miskin, tidak ada alasan rakyat harus antri sembako, tidak ada alasan sengsara, apalagi hina dina, seakan terjajah di negerinya sendiri.
Sayang memang pemimpin pilihan rakyat yang tercipta laksana “boneka ekonomi”, sebagaimana diungkap Fuad, memang telah membuat masyarakat kebanyakan lunglai, daya beli lemah, pengangguran bertambah.
Ciputra, pengusaha 2007 pilihan Ernst & Young, yang juga pendiri Taman Impian Jaya Ancol, mengatakan pengusaha di Indonesia hanya 0,08% dari jumlah penduduk. 750.000 lulusan sarjana setiap tahun menganggur. Kita perlu terobosan menggerakkan sektor riil.
Untuk itu saat ini di studio saya telah hadir insan-insan luar biasa. Mereka bergerak, bersuara, mengedepankan kekuatan potensi bangsa sendiri, untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri, khusunya di industri ritel dan area rekreasi; kita akan menyigi ihwal ini
Senin, 07 Januari 2008
MENYIGI KESEJAHTERAAN RAKYAT MENUJU MASYARAKAT MADANI
REKAMAN gambar PRESS TALK episode 6, berlangsung pada Jumat, 4 Januari 2008, pukul 17.30. Penayangan direncanakan mulai tanggal 14 Januari 2008. Press Talk, Wadah Orang Media danOrang yang Ditulis Media Bicara, mengambil topik: Menyigi Kesejahteran Rakyat Menuju Masyarakat Madani.
Tampil sebagai tamu; Fuad Bawazier, Mantan Menteri Keuangan, Ichsanudin Noorsy, Pengamat Ekonomi, dan Alif H. Gaffar, Ketua Umum GNM3 (Gerakan Nasional Menuju Masyarakat Madani)
Yang mengemuka secara hangat dalam dialog adalah; bahwa Indonesia, “Dikuasai oleh koalisi busuk,” kata Noorsy. Sedangkan menurut Fuad, ”Siapa pun presiden sejak 40 tahun lalu sistem ekonomi tidak berubah. Presiden hanya semacam boneka ekonomi.” Sistem menghamba kepada kepentingan neo liberalisme Amerika Serikat, dengan segenap negara kaki tangannya.
Lebih celaka kaki tangan AS, melalui IMF dan Bank Dunia di Indonesia, difasilitasi oleh mereka yang pernah belajar di AS - - yang dalam skala eksklusif dijuluki Mafia Berckeley (mereka para ekonom yang lulusan perguruan tinggi AS, tak memulu dari University of Berckeley, termasuk luklusan Harvard, Geoge Washington) - - tidak pernah pro pada mensejahterakan rakyat. Sebaliknya, mereka mendukung bangsa ini kian “terjajah”, penguasaan sumber daya alam kian dikuasai asing. Aset dan potensi pasar serta peluang SDM anak negeri tumbuh berkembang justeru kian pudar.
Saya sebagai anchor sempat menanyakan seberapa banyak Mafia Berckeley itu, “Seribu, dua ribu, atau hanya beberpa gelintir orang saja? Kenapa 230 juta penduduk justeru kalah?”
Ekonomi makro yang selalu dijadikan indikator pertumbuhan oleh negara, hanyalah sebuah kamuflase, yang sesungguhnya tidak mencerminkan keadaan riil masyarakat.
Di bawah ini pengantar saya, sebagai anchor PRESS TALK:
Pemirsa, Selamat Tahun Baru 2008, selamat berjumpa pada Program PRESS TALK, bersama saya Iwan Piliang. Mengawali 2008 ini, topik kita: Menyigi Kesejahteraan Rakyat Menuju Masyarakat Madani.
Adalah tugas negara mensejahterakan rakyatnya. Dari sudut masyarakat kebanyakan, ukuran sejahtera, ternyata, tidaklah muluk. Mereka hanya butuh perut terisi, pendidikan anak murah, pelayanan kesehatan gratis. Setidaknya ini poin utama yang dapat kami tangkap dari menjaring jawaban pertanyaan di berbagai daerah melalui jaringan PWI-Reformasi.
Presiden SBY membantah data kemiskinan yang dilansir oleh Wiranto, melalui iklan di beberapa media di penghujung 2007 lalu.
Kami tak ingin ikut berdebat-debat ihwal angka itu, tetapi meyakini bahwa data berikut:
37 juta jiwa penduduk miskin berpendapatan kurang dari Rp 180 ribu, sekitar US $ 20 saja perbulan. 150 orang terkaya menguasai APBN lebih dari 50 persen. Angka pengangguran masih 30 juta, kebijakan moneter berbunga tinggi mengimingi pemilik modal tidak lari membuat biaya mahal. Bank Indonesia memberi bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), membuat dana dari berbagai daerah mengendap tidak produktif. Angkanya mencapai Rp 60 triliun pertahun.
Penyerapan anggaran pemerintah di dua tahun terakhir di bawah 60%, kian memperkokoh keadaan bahwa sektor riil tidak bergerak. Sebaliknya mengundang investasi asing masuk, membuat penguasaan sumber daya alam kita, justeru kian “tergadai” , termasuk potensi pasar yang besar. Contoh kongkrit pasar telekomunikasi, keuntungannya dinikmati pihak asing. Penciptaan lapangan kerja dari iming-iming investasi asing pun menjadi tanya, karena yang timbul adalah peluang kerja out sourcing nir jenjang karir dan nisbi pensiun.
Di bidang pengelolaan pangan, swasembada beras kian jauh panggang dari api. Bila 2006 impor beras Indonesia mencapai 850.000 ton, pada 2007 angkanya sudah 1.500.000 ton. Dengan akan banyaknya terjadi musibah banjir tahun ini, menjadi dapat dipastikan bahwa impor beras diperkirakan lebih 2 juta ton tahun 2008. Program subsitusi pangan selain beras tidak berjalan.
Trias politika, yang membangun masyarakat sipil yang pluralis, sebagai acuan masyarakat madani, yang di awal reformasi begitu bunyi sebagai jalan mensejahterakan rakyat, kini redup, jika tak ingin disebut mati.
Apakah rakyat memang meningkat kesejahteraannya? Sebuah pertanyaan yang sesungguhnya mudah untuk dijawab dan dirasakan. Ini fokus dialog kita hari ini.(IP)
Tampil sebagai tamu; Fuad Bawazier, Mantan Menteri Keuangan, Ichsanudin Noorsy, Pengamat Ekonomi, dan Alif H. Gaffar, Ketua Umum GNM3 (Gerakan Nasional Menuju Masyarakat Madani)
Yang mengemuka secara hangat dalam dialog adalah; bahwa Indonesia, “Dikuasai oleh koalisi busuk,” kata Noorsy. Sedangkan menurut Fuad, ”Siapa pun presiden sejak 40 tahun lalu sistem ekonomi tidak berubah. Presiden hanya semacam boneka ekonomi.” Sistem menghamba kepada kepentingan neo liberalisme Amerika Serikat, dengan segenap negara kaki tangannya.
Lebih celaka kaki tangan AS, melalui IMF dan Bank Dunia di Indonesia, difasilitasi oleh mereka yang pernah belajar di AS - - yang dalam skala eksklusif dijuluki Mafia Berckeley (mereka para ekonom yang lulusan perguruan tinggi AS, tak memulu dari University of Berckeley, termasuk luklusan Harvard, Geoge Washington) - - tidak pernah pro pada mensejahterakan rakyat. Sebaliknya, mereka mendukung bangsa ini kian “terjajah”, penguasaan sumber daya alam kian dikuasai asing. Aset dan potensi pasar serta peluang SDM anak negeri tumbuh berkembang justeru kian pudar.
Saya sebagai anchor sempat menanyakan seberapa banyak Mafia Berckeley itu, “Seribu, dua ribu, atau hanya beberpa gelintir orang saja? Kenapa 230 juta penduduk justeru kalah?”
Ekonomi makro yang selalu dijadikan indikator pertumbuhan oleh negara, hanyalah sebuah kamuflase, yang sesungguhnya tidak mencerminkan keadaan riil masyarakat.
Di bawah ini pengantar saya, sebagai anchor PRESS TALK:
Pemirsa, Selamat Tahun Baru 2008, selamat berjumpa pada Program PRESS TALK, bersama saya Iwan Piliang. Mengawali 2008 ini, topik kita: Menyigi Kesejahteraan Rakyat Menuju Masyarakat Madani.
Adalah tugas negara mensejahterakan rakyatnya. Dari sudut masyarakat kebanyakan, ukuran sejahtera, ternyata, tidaklah muluk. Mereka hanya butuh perut terisi, pendidikan anak murah, pelayanan kesehatan gratis. Setidaknya ini poin utama yang dapat kami tangkap dari menjaring jawaban pertanyaan di berbagai daerah melalui jaringan PWI-Reformasi.
Presiden SBY membantah data kemiskinan yang dilansir oleh Wiranto, melalui iklan di beberapa media di penghujung 2007 lalu.
Kami tak ingin ikut berdebat-debat ihwal angka itu, tetapi meyakini bahwa data berikut:
37 juta jiwa penduduk miskin berpendapatan kurang dari Rp 180 ribu, sekitar US $ 20 saja perbulan. 150 orang terkaya menguasai APBN lebih dari 50 persen. Angka pengangguran masih 30 juta, kebijakan moneter berbunga tinggi mengimingi pemilik modal tidak lari membuat biaya mahal. Bank Indonesia memberi bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), membuat dana dari berbagai daerah mengendap tidak produktif. Angkanya mencapai Rp 60 triliun pertahun.
Penyerapan anggaran pemerintah di dua tahun terakhir di bawah 60%, kian memperkokoh keadaan bahwa sektor riil tidak bergerak. Sebaliknya mengundang investasi asing masuk, membuat penguasaan sumber daya alam kita, justeru kian “tergadai” , termasuk potensi pasar yang besar. Contoh kongkrit pasar telekomunikasi, keuntungannya dinikmati pihak asing. Penciptaan lapangan kerja dari iming-iming investasi asing pun menjadi tanya, karena yang timbul adalah peluang kerja out sourcing nir jenjang karir dan nisbi pensiun.
Di bidang pengelolaan pangan, swasembada beras kian jauh panggang dari api. Bila 2006 impor beras Indonesia mencapai 850.000 ton, pada 2007 angkanya sudah 1.500.000 ton. Dengan akan banyaknya terjadi musibah banjir tahun ini, menjadi dapat dipastikan bahwa impor beras diperkirakan lebih 2 juta ton tahun 2008. Program subsitusi pangan selain beras tidak berjalan.
Trias politika, yang membangun masyarakat sipil yang pluralis, sebagai acuan masyarakat madani, yang di awal reformasi begitu bunyi sebagai jalan mensejahterakan rakyat, kini redup, jika tak ingin disebut mati.
Apakah rakyat memang meningkat kesejahteraannya? Sebuah pertanyaan yang sesungguhnya mudah untuk dijawab dan dirasakan. Ini fokus dialog kita hari ini.(IP)
ICT INDONESIA ke DEPAN
ICT INDONESIA ke DEPAN
Rekaman PRESS TALK, 4 Januri 2008, pukul 19.30, dengan topik Information Communication Technology (ICT Indonesia ke Depan). Atau Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia ke Depan.
Hadir sebagai tamu, Onno W. Purbo, yang mengaku sebagai rakyat. Kami menyebutnya Innovator Rakyat. Sosok yang secara fantastis mengembangkan RT/RW Net, juga pengembang Wajan Bolic untuk akses WiFi. Melalui handset 3G, ia mampu berkomunikasi selular yang nir kartu selular, dan sudah masuk di era 4G. Tetapi teknologi temuan anak negeri ini, lebih mendapatkan apresiasi, seperti di Afrika dan Amerika Latin. Ia menganut paham, bahwa copy right, bahkan paten sekalipun yang dimiliki, dilepas saja ke publik. melalu laku demikian, Onno mengaku mendapatkan banyak kemaslahatan dari dunia, bukan cuma dari negerinya sendiri.
Di sampaing Onno, hadir juga Eddy Satrya, Asisten Deputi Telematika & Utilitas Kantor, Menkoperekonomian. Ia diajak tampil berkait pada 27 Desember 2007 lalu menyelenggarakan sebuah seminar di Kantor Menkoperekonomian. Buah diskusi itu telah menjadi diskusi yang hangat di berbagai milis telematika di internet.
Tamu berikutnya adalah, Loly Amalia, Direktur Sistem Informasi Perangkat Lunak dan Konten, Depkominfo.
Arah pengembangan kekuatan bangsa di bidang ICT ke depan memang tidak jernih. Keberpihakan pengembangan telekomunikasi, contohnya, tidak berorientasi kepada masyarakat banyak.
Di bidang konten pun, Depkominfo mencoba membuat inkubator konten dan aplikasi. Tetapi, sayang anggaran tersedia hanya Rp 1,5 miliar tahun ini, dan digunakan untuk melakukan beauty contest. Padahal kesenjangan digital (digital devide), sudah kian kental, yang memerlukan langkah percepatan luar biasa - - terutama untuk pengembangan konten di mana Indonesia punya potensi mendatangkan US $ miliaran.
Sisi kebutuhan venture capital riil, tetap tidak pernah dan akan bisa direalisasikan pemerintah - - karena pemerintah memang kehilangan orientasi.
Berikut pengantara anchor dalam PRESS TALK yang rencananya akan disiarkan mulai 14 januari 20078 nanti:
Topik kita kali ini Information, Communication Technologi (ICT) Indonesia ke Depan.
Atau Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia ke Depan.
Saat ini jika berbicara soal ICT, yang selalu dikemukakan adalah sesuatu yang canggih. Karena kecanggihan itu bukanlah pakem orang awam, di beberapa daerah pembuatan situs internet atau website, yang sesungguhnya salah satu medium komunikasi dari media komunikasi yang ada, seakan-akan barang yang juga canggih. Kibatnya beberpa website berdomain go.id berbiaya miliaran rupiah. Yang paling hangat urusan situs pasriwisata yang berbiaya mencapai Rp 17 miliar dan menjadi topic hangat dibicarakan di milis-milis.
Unsur yang terkandung di dalam ICT, berupa hardware, software dan konten/aplikasi, yang sesungguhnya jernih, dan tidak rumit-rumit amat untuk dipahami, seakan tertutupi oleh isu kecanggihan ICT. Padahal kalaupun ada unsure yang harus memang canggih, ia adalah bagian dari infrastruktur, yang kalau dijabarkan juga tidak melibat suatu hal yang luar biasa tak mungkin dicapai dan dikuasai.
Tetapi begitulah keadaan di masyarakat. Arah ke mana kekuatan ICT bangsa hendak ditujukan hingga kini belum baku dan paku tujuan dilangkahkan.
Penghunjung 2007 lalu, kantor kementrian Menkoperekonomian membuat diskusi akhir tahun ICT. Hasilnya berbagai milis ICT, heboh mendiskusikan. Bahkan hingga hari ini masih dalam topik hangat di milis-milis telematikan, juga yang terkait.
Barang apakah ICT, benarkah sesuatu yang canggih, mahal, untuk kita berdialog pada kesempatan ini
Rekaman PRESS TALK, 4 Januri 2008, pukul 19.30, dengan topik Information Communication Technology (ICT Indonesia ke Depan). Atau Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia ke Depan.
Hadir sebagai tamu, Onno W. Purbo, yang mengaku sebagai rakyat. Kami menyebutnya Innovator Rakyat. Sosok yang secara fantastis mengembangkan RT/RW Net, juga pengembang Wajan Bolic untuk akses WiFi. Melalui handset 3G, ia mampu berkomunikasi selular yang nir kartu selular, dan sudah masuk di era 4G. Tetapi teknologi temuan anak negeri ini, lebih mendapatkan apresiasi, seperti di Afrika dan Amerika Latin. Ia menganut paham, bahwa copy right, bahkan paten sekalipun yang dimiliki, dilepas saja ke publik. melalu laku demikian, Onno mengaku mendapatkan banyak kemaslahatan dari dunia, bukan cuma dari negerinya sendiri.
Di sampaing Onno, hadir juga Eddy Satrya, Asisten Deputi Telematika & Utilitas Kantor, Menkoperekonomian. Ia diajak tampil berkait pada 27 Desember 2007 lalu menyelenggarakan sebuah seminar di Kantor Menkoperekonomian. Buah diskusi itu telah menjadi diskusi yang hangat di berbagai milis telematika di internet.
Tamu berikutnya adalah, Loly Amalia, Direktur Sistem Informasi Perangkat Lunak dan Konten, Depkominfo.
Arah pengembangan kekuatan bangsa di bidang ICT ke depan memang tidak jernih. Keberpihakan pengembangan telekomunikasi, contohnya, tidak berorientasi kepada masyarakat banyak.
Di bidang konten pun, Depkominfo mencoba membuat inkubator konten dan aplikasi. Tetapi, sayang anggaran tersedia hanya Rp 1,5 miliar tahun ini, dan digunakan untuk melakukan beauty contest. Padahal kesenjangan digital (digital devide), sudah kian kental, yang memerlukan langkah percepatan luar biasa - - terutama untuk pengembangan konten di mana Indonesia punya potensi mendatangkan US $ miliaran.
Sisi kebutuhan venture capital riil, tetap tidak pernah dan akan bisa direalisasikan pemerintah - - karena pemerintah memang kehilangan orientasi.
Berikut pengantara anchor dalam PRESS TALK yang rencananya akan disiarkan mulai 14 januari 20078 nanti:
Topik kita kali ini Information, Communication Technologi (ICT) Indonesia ke Depan.
Atau Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia ke Depan.
Saat ini jika berbicara soal ICT, yang selalu dikemukakan adalah sesuatu yang canggih. Karena kecanggihan itu bukanlah pakem orang awam, di beberapa daerah pembuatan situs internet atau website, yang sesungguhnya salah satu medium komunikasi dari media komunikasi yang ada, seakan-akan barang yang juga canggih. Kibatnya beberpa website berdomain go.id berbiaya miliaran rupiah. Yang paling hangat urusan situs pasriwisata yang berbiaya mencapai Rp 17 miliar dan menjadi topic hangat dibicarakan di milis-milis.
Unsur yang terkandung di dalam ICT, berupa hardware, software dan konten/aplikasi, yang sesungguhnya jernih, dan tidak rumit-rumit amat untuk dipahami, seakan tertutupi oleh isu kecanggihan ICT. Padahal kalaupun ada unsure yang harus memang canggih, ia adalah bagian dari infrastruktur, yang kalau dijabarkan juga tidak melibat suatu hal yang luar biasa tak mungkin dicapai dan dikuasai.
Tetapi begitulah keadaan di masyarakat. Arah ke mana kekuatan ICT bangsa hendak ditujukan hingga kini belum baku dan paku tujuan dilangkahkan.
Penghunjung 2007 lalu, kantor kementrian Menkoperekonomian membuat diskusi akhir tahun ICT. Hasilnya berbagai milis ICT, heboh mendiskusikan. Bahkan hingga hari ini masih dalam topik hangat di milis-milis telematikan, juga yang terkait.
Barang apakah ICT, benarkah sesuatu yang canggih, mahal, untuk kita berdialog pada kesempatan ini
Selasa, 18 Desember 2007
Menguras Energi Calon TKI
Rekaman gambar episode ke-5 PRESS TALK, berlangsung pada Selasa, 18 Desember 2007, pukul 17. Tamu yang hadir, M. Jumhur Hidayat, Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) - - sebuah badan yang baru berumur setahun yang langsung dibentuk dan berada di bawah presiden - - Novel Ma'ruf, PJTKI, dan Umar Ali dari Perhimpunan Rakyat Nusantara, sebuah LSM yang mengamati masalah tenaga kerja.
Penayangannya pada awal Januari 2007.
Berikut kalimat pengantar saya dalam dialog tersebut:
Pemirsa selamat bertemu kembali dalam program PRESS TALK, Wadah Orang media dan Orang yang Ditulis Media Bicara, bersama saya Iwan Piliang.
Topik kali ini: Menguras Energi TKI Berjuang ke Luar Negeri, sebuah topik mikro, yang menyimpan mancaragam persoalan tambun.
DR Hendri Saparini, Direktur Eksekutif Econit, yang pernah hadir di program ini, mengatakan, “Di negeri ini bertambahnya pengangguran, bertambahnya jumlah rakyat miskin, tidak membuat seorang presiden jatuh. Beda dengan negara maju.”
Turunnya daya beli rakyat kebanyakan, pengangguran sudah mencapai 30 juta lebihm rakyat miskin yang berpenghasilan Rp 180 ribu/bulan atau setara US$ 20/perbulan 37 juta, seakan menjadi angka-angka tulisan media, yang hanya lewat begitu saja. Paling cuma tercetak di koran, koran bekas lalu dikilokan, didaur ulang. Kini siklus pemberitaan kepahitan yang beulang-ulang, ya macam daur kertas, yang cum: dibaca, dilihat, lantas hilang (dibaca dengan nada macam iklan BI soal uang palsu itu)
Laporan wartawan anggota Persatuan Wartawan Reformasi Indonesia dari NTT, AWAL September 2007, dari Dinas Kesehatan Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT) menyebutkan 11.038 anak balita kurang gizi. 1.117 anak menderita gizi buruk. Dari mereka yang berasupan minim itu, dua puluh sembilan mengalami busung lapar. Enam balita mati. Kekeringan, hama belalang seakan membuat penduduk frustasi. Seorang ibu di desa Nian, Kecamatan Miomafo Timur, Kabupaten Timor Tengah Utara, sekitar 210 kilometer dari Kupang, ibu kota NTT, sampai harus mengumpulkan asam jawa yang jatuh dari pohon di radius 3 km di dekat rumahnya. Seharian asam jawa seember seukuran 5 liter, hanya laku Rp 2000, seharga sekali parkir di jalanan umum Jakarta. Ini bukan kisah 20 tahun lalu. Tetapi di bulan ini di tahun ini.
Keadaan pahit inilah menjadi latar utama, pilihan mencari peruntungan bekerja di negeri orang menjadi alasan utama. Luar negeri seakan memberikan seberkas lilin cahaya di balik kegelapan. Di dalam prakteknya, mulai dari minat menjadi TKI, melangkahkan kaki menuju RT, RW, Lurah, Camat dan dinas depertemen tenaga kerja daerah, ternyata sebuah pergumulan, menguras kesabaran, energi dan uang.
BP2NTKI, dibentuk pemerintah untuk mengatasi masalah yang ada. Akan tetapi sebaliknya hingga kini pungutan-pungutan terhadap TKI, kian banyak saja. Ada pendaftaran on line yang setidaknya 3 harus dilakukan PJTKI, melalui SISKOTKLN. Teknologi informasi yang sesungguhnya urusan hardware, software,dan konten, seakan menjadi momok kecanggihan, menjadi tempat tambahan menghimpun dana.
Pemirsa,Dalam kerangka inilah dialog kita kali ini. Dan ingat, ini Cuma baru masalah-masalah akan TKI yang akan berangkat ke luar negeri lho. Kita belum akan menyinggung masalah kembalinya. Di kanan saya …
Penayangannya pada awal Januari 2007.
Berikut kalimat pengantar saya dalam dialog tersebut:
Pemirsa selamat bertemu kembali dalam program PRESS TALK, Wadah Orang media dan Orang yang Ditulis Media Bicara, bersama saya Iwan Piliang.
Topik kali ini: Menguras Energi TKI Berjuang ke Luar Negeri, sebuah topik mikro, yang menyimpan mancaragam persoalan tambun.
DR Hendri Saparini, Direktur Eksekutif Econit, yang pernah hadir di program ini, mengatakan, “Di negeri ini bertambahnya pengangguran, bertambahnya jumlah rakyat miskin, tidak membuat seorang presiden jatuh. Beda dengan negara maju.”
Turunnya daya beli rakyat kebanyakan, pengangguran sudah mencapai 30 juta lebihm rakyat miskin yang berpenghasilan Rp 180 ribu/bulan atau setara US$ 20/perbulan 37 juta, seakan menjadi angka-angka tulisan media, yang hanya lewat begitu saja. Paling cuma tercetak di koran, koran bekas lalu dikilokan, didaur ulang. Kini siklus pemberitaan kepahitan yang beulang-ulang, ya macam daur kertas, yang cum: dibaca, dilihat, lantas hilang (dibaca dengan nada macam iklan BI soal uang palsu itu)
Laporan wartawan anggota Persatuan Wartawan Reformasi Indonesia dari NTT, AWAL September 2007, dari Dinas Kesehatan Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT) menyebutkan 11.038 anak balita kurang gizi. 1.117 anak menderita gizi buruk. Dari mereka yang berasupan minim itu, dua puluh sembilan mengalami busung lapar. Enam balita mati. Kekeringan, hama belalang seakan membuat penduduk frustasi. Seorang ibu di desa Nian, Kecamatan Miomafo Timur, Kabupaten Timor Tengah Utara, sekitar 210 kilometer dari Kupang, ibu kota NTT, sampai harus mengumpulkan asam jawa yang jatuh dari pohon di radius 3 km di dekat rumahnya. Seharian asam jawa seember seukuran 5 liter, hanya laku Rp 2000, seharga sekali parkir di jalanan umum Jakarta. Ini bukan kisah 20 tahun lalu. Tetapi di bulan ini di tahun ini.
Keadaan pahit inilah menjadi latar utama, pilihan mencari peruntungan bekerja di negeri orang menjadi alasan utama. Luar negeri seakan memberikan seberkas lilin cahaya di balik kegelapan. Di dalam prakteknya, mulai dari minat menjadi TKI, melangkahkan kaki menuju RT, RW, Lurah, Camat dan dinas depertemen tenaga kerja daerah, ternyata sebuah pergumulan, menguras kesabaran, energi dan uang.
BP2NTKI, dibentuk pemerintah untuk mengatasi masalah yang ada. Akan tetapi sebaliknya hingga kini pungutan-pungutan terhadap TKI, kian banyak saja. Ada pendaftaran on line yang setidaknya 3 harus dilakukan PJTKI, melalui SISKOTKLN. Teknologi informasi yang sesungguhnya urusan hardware, software,dan konten, seakan menjadi momok kecanggihan, menjadi tempat tambahan menghimpun dana.
Pemirsa,Dalam kerangka inilah dialog kita kali ini. Dan ingat, ini Cuma baru masalah-masalah akan TKI yang akan berangkat ke luar negeri lho. Kita belum akan menyinggung masalah kembalinya. Di kanan saya …
Langganan:
Postingan (Atom)